Anak merupakan investasi yang sangat penting bagi penyiapan sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Dalam rangka mempersiapakan SDM yang berkualitas untuk masa depan, pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk diberikan sejak usia dini, di samping juga anak harus dipenuhi kebutuhan lainnya, seperti misalnya kebutuhan akan gizi. Pendidikan merupakan investasi masa depan yang diyakini dapat memperbaiki kehidupan suatu bangsa. Memberikan perhatian yang lebih kepada anak usia dini untuk mendapatkan pendidikan, merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mnyiapkan generasi unggul yang
akan meneruskan perjuangan bangsa.
Usia dini
merupakan masa keemasan (golden age) yang hanya terjadi satu kali dalam
perkembangan kehidupan manusia. Masa ini sekaligus merupakan masa yang kritis
dalam perkembangan anak. Jika pada masa ini anak kurang mendapat perhatian
dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta
kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal.
Pentingnya
pendidikan anak sejak usia dini ini juga didukung penelitian - penelitian yang
menemukan bahwa sejak lahir seorang anak manusia memiliki kurang lebih 100
(seratus) miliyar sel otak. Sel-sel otak yang ini saling berhubungan dengan
sel-sel syaraf. Sel-sel otak ini tidak akan tumbuh dan berkembang dengan pesat
tanpa adanya stimulasi dan didayagunakan (Gutama,dkk., 2005: 3). Pentingnya
pendidikan anak sejak usia dini juga didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan anak usia
dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan untuk anak sejak lahir
sampai dengan 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir
14). Berdasarkan hal-hal tersebut maka jelaslah bahwa pendidikan sejak usia
dini sangatlah penting.Terkait dengan pendidikan yang diberikan sejak usia
dini, salah satu bagian penting yang harus mendapatkan perhatian adalah
penanaman nilai moral melalui pendidikan di Taman Kanak-kanak. Pendidikan nilai
dan moral yang dilakukan sejak usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan
selanjutnya anak akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu akan berpengaruh pada
mudah tidaknya anak diterima oleh masyarakat sekitarnya dalam hal bersosialisasi.Pendidikan
nilai dan moral sejak usia dini merupakan tanggungjawab bersama semua pihak.
Salah satu lembaga pendidikan yang dapat melakukan hal itu adalah Taman
Kanak-kanak (TK) yang merupakan salah satu lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) yang bersifat formal. Di samping masih banyak lembaga PAUD lain yang
dapat digunakan sebagai tempat penanaman nilai moral seperti: Kelompok Bermain
(KB), Tempat Penitiapan Anak (TPA), pendidikan keluarga, dan pendidikan
lingkungan. Berdasarkan berbagai penelitian yang pernah dilakukan oleh para
ahli terhadap anak-anak di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan yang
terbalik antara kecerdasan akal dan keserdasan emosi. Anak-anak yang cerdas
justru lebih banyak mengalami gangguan kestabilan emosi. Mereka mudah sekali
tersinggung, banyak tekanan, melakukan tindakan agresi, sulit beradaptasi,
memiliki sifat egois, dan tidak jarang di antaranya melakukan percobaan bunuh
diri. Di kalangan profesional pun ternyata juga terdapat hasil penelitian yang
perlu untuk mendapatkan perhatian serius. Di Amerika Serikat ada sebuah istilah
when the smart is dumb (ketika orang cerdas menjadi bodoh). Lebih dari
70 % orang cerdas dengan IQ (intelegency Quetion) di atas 135 ternyata
bekerja pada orang-orang yang hanya mempunyai kecerdasan rata-rata. Kondisi ini
menunjukkan bahwa ternyata di balik
badan dan pikiran, masih ada alam lain yang perlu disentuh dengan pendidikan,
yaitu hati (Suharno, 2007:1).Anak TK adalah anak yang sedang dalam tahap
perkembangan pra operasional kongkrit seperti yang dikemukakan oleh Piaget,
sedangkan nilai-nilai moral merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga
dalam hal ini anak belum dapat dengan serta merta menerima apa yang diajarkan
guru atau orang tua yang sifatnya abstrak secara cepat. Untuk itulah guru atau
pendidik di TK harus pandai dalam memilih dan menentukan metode yang akan
digunakan untuk menanamkan nilai moral kepada anak agar pesan moral yang ingin
disampaikan guru dapat benar-benar sampai dan dipahami oleh anak untuk bekal
kehidupannya di masa depan. Dalam pemilihan dan penerapan metode ini
disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan karakteristik anak TK.Metode yang dapat digunakan sangatlah
bervariasi, diantaranya metode bercerita, karya wisata, bernyanyi, bermain, dan
sebagainya. Untuk memilih dan menerapkan metode yang akan dipakai dalam
penanaman nilai moral tersebut guru atau pendidik harus benar-benar mempunyai
pemahaman yang memadai akan hal itu. Pemahaman yang dimiliki guru atau pendidik
akan mempengaruhi keberhasilan penanaman nilai moral secara optimal. Dalam
penelitian ini, peneliti bermaksud mengungkap bagaimana metode yang digunakan
dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini di beberapa TK yang mempunyai
karakteristik pendidikan Islam serta bagaimana pengaruh pemakaian metode
tersebut terhadap keberhasilan pelaksanaan penanaman nilai moral di TK.
A. Nilai
dan Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan
Poerwadarminta dinyatakan bahwa nilai
adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia. Menurut I Wayan Koyan
(2000 :12), nilai adalah segala sesuatu
yang berharga. Menurutnya ada
dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai
yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang
diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg mengklasifikasikan
nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif
atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat intrinsik, yakni nilai hakiki
yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal
ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapun nilai
subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai
dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu.Menurut Richard Merill dalam I Wayan Koyan
(2000 : 13) menyatakan bahwa nilai adalah patokan atau standar yang dapat
membimbing seseorang atau kelompok ke arah ”satisfication, fulfillment, and meaning”. Pendidikan
nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode
langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya
indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara
langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan,
menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung tidak dimulai dengan
menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang
memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di
sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik
(Darmiyati Zuchdi, 2003: 4).Menurut Kirschenbaum (1995: 7) pendidikan nilai
yang dilakukan tidak hanya menggunakan strategi tunggal saja, seperti melalui
indoktrinasi, melainkan harus dilakukan secara komprehensif. Strategi tunggal
dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang bernuansa
indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif diterapkan,
karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan
nilai mencakup berbagai aspek.Pertama, pendidikan nilai harus
komprehensif meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai, mulai
dari pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan
mengenai etika secara umum.Kedua, metode yang digunakan dalam pendidikan
nilai juga harus komprehensif. Termasuk didalamnya inkulkasi (penanaman) nilai,
pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan
mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab
dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain. Generasi muda perlu
memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh
perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru, dan masyarakat.
Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas
kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh
kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya dan mempelajari
keterampilan-keterampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri.Ketiga, pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan,
seperti di kelas, dalam kegiatan ekstra kurikuler, dalam proses bimbingan dan
penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan dalam semua aspek
kehidupan. Contoh-contoh mengenai hal tersebut misalnya tercermin dalam
kegiatan yang dilakukan oleh siswa seperti belajar kelompok, penggunaan
bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan. Penggunaan klarifikasi nilai dan dilema
moral, pemberian teladan tidak merokok, tidak korup, tidak munafik, dermawan,
kejujuran, menyayangi sesama mahluk ciptaan Tuhan, dan lain sebagainya.Keempat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang
tua, lembaga keagamaan, aparat penegak hukum, polisi, organisasi
kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai. Konsistensi
semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai mempengaruhi kualitas moral
generasi muda (Kirschenbaum, 1995: 9-10).Lebih lanjut Kirschenbaum (1995: 15-28) menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan
tercapainya pendidikan nilai secara komprehensif ada berbagai cara yang dapat
dilakukan. Di Amerika Serikat untuk merealisasikan pendidikan nilai,
berbagai metode, program, dan kurikulum telah dikembangkan dalam rangka menolong
generasi muda agar dapat mencapai kehidupan yang secara pribadi lebih memuaskan
dan secara sosial lebih konstruktif. Dilihat
dari substansinya, ada empat pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama
dalam pendidikan nilai yang komprehensif yaitu realiasi nilai, pendidikan
watak, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan moral.
Adapun pengertian moral
berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya
adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25).
Dalam perkembangannya moral diartikan
sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin
Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa moral
adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik
secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang
ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.Terkait dengan persoalan
moral, para ahli psikologi dan ahli filsafat tidak didapatkan kata sepakat
mengenai persoalan apa sebenarnya yang membentuk suatu masalah moral. Namun
demikian sebagian para ahli sependapat bahwa masalah moral akan muncul manakala terjadi suatu pertentangan ataupun konflik
mengenai persolan tujuan, rencana, hasrat ataupun keinginan serta harapan
manusia. Kepekaan seseorang mengenai kesejahteraan dan hak orang lain
merupakan pokok persoalan ranah moral. Kepekaan tersebut mungkin tercermin
dalam kepedulian seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi orang lain, dan
dalam orientasinya terhadap pemilikan bersama serta pengalokasian sumber pada
umumnya. Ketika anak-anak berhadapan pada pertentangan seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka diharapkan teori developmental dapat mengatasinya.
Dengan kata lain, teori ini memusatkan perhatian secara khusus pada bagaimana
cara anak-anak menghadapi pertentangan tersebut. Selain itu, proses yang mereka
lakukan dalam menyelesaikan permasalahan moral dapat untuk memotivasi agar memperhatikan
kepentingan orang lain dan kecenderungan untuk merasa tidak senang manakala
mereka tidak memperhatikan kepentingan orang lain (Marthin L. Hoffman, 1992:
470).Pendidikan moral merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai
gerakan utama dalam pendidikan nilai secara komprehensif seperti telah
dituliskan di muka. Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keterampilan mengatasi konflik, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang
(kemudian dinyatakan dengan istilah ”bermoral”). Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom,
memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten
dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa
komponen yaitu: pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan
kasihan dan mementingkan kepentingan orang lain, dan tendensi moral (Darmiyati
Zuchdi, 2003:13).
B. Pendidikan
Anak Usia Dini
Dalam UU No. 23 Tahun 2000 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah
satu upaya pembinaan yang ditujuak untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14). Pendidikan
untuk anak usia dini (0-8 tahun) merupakan pendidikan yang memiliki
karakteristik berbeda dengan anak usia lain, sehingga pendidikannya pun perlu
dipandang sebagai sesuatu yang dikhususkan. Pendidikan anak usia dini di
negara-negara maju mendapat perhatian yang luar biasa. Karena pada dasarnya
pengembangan manusia akan lebih mudah dilakukan pada usia dini. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa usia dini merupakan usia emas (golden age) yang hanya
terjadi sekali selama kehidupan seorang manusia. Apabila usia dini tidak
dimanfaatkan dengan menerapkan pendidikan dan penanaman nilai serta sikap yang
baik tentunya kelak ketika ia dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga
nilai-nilai moral yang kurang baik. Oleh karena itu pendidikan anak usia dini
adalah investasi yang sangat mahal harganya bagi keluarga dan juga
bangsa.Anak-anak merupakan generasi penerus keluarga sekaligus generasi penerus
yang akan meneruskan estafet perjuangan para pendahulu kita. Betapa bahagianya
orang tua yang melihat anak-anaknya ”berhasil”, baik dalam pendidikan,
berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam berkarya untuk bangsa. Betapa
bahagianya orang tua yang dikunjungi oleh anak-anaknya, cucu-cucunya yang lucu,
polos, dan belum ada dosa yang diperbuatnya. Sebaliknya, betapa sedih dan
malang orang tua yang melihat anak-anaknya gagal dalam pendidikan dan kandas
dalam mengarungi kehidupannya. Betapa sedih dan hancurnya hati dan perasaan
orang tua yang mendengar anaknya ditangkap polisi dan masuk penjara karena
melakukan suatu tindak kejahatan. Oleh karen itu pendidikan anak usia dini
menjadi suatu yang urgen dan perlu mendapatkan perhatian yang serius
dari setiap keluarga demi menciptakan generasi penerus yang baik dan berakhlaqul
karimah.Mengingat pentingya pendidikan untuk anak usia dini, maka di
negara-negara maju pendidikan anak usia dini sangat mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah. Taman Kanak-kanak (TK) dipandang sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan nasional sehingga sederajat dengan SD atau
jenjang pendidikan lainnya. Guru TK tidak dipandang lebih mudah dari guru SD
atau jenjang pendidikan di atasnya. Banyak perguruan tinggi yang mengembangkan
program master dan doktor untuk pendidikan anak usia dini. Tidak sedikit pula
guru TK yang memiliki gelar master dan doktor dalam bidang pendidikan anak usia
dini. Berbeda dengan di Indonesia, kondisi pendidikan anak usia dini belum
tergarap dengan baik. Perhatian pemerintah untuk mengembangkan pendidikan anak
usia dini masih jauh dari harapan. Hampir seluruh TK (lebih dari 99 %) adalah
TK swasta yang dikembangkan oleh masyarakat secara swadaya. Para guru TK pun
pada umumnya tidak memperoleh gaji yang pantas. Selain itu, jumlahnya kurang 1
% yang berstatus PNS. Jumlah anak yang mengenyam pendidikan TK juga sangat
rendah, yaitu sekitar 12 % (Slamet Suyanto, 2005: 2-3). Taman Kanak-kanak
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur formal
yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun. Dalam
Standar Kompetensi PAUD dinyatakan bahwa fungsi pendidikan TK dan RA adalah:1.
Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak2. Mengenalkan anak pada
dunia sekitar3. Menumbuhkan sikap dan perilaku baik4. Mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dan bersosialisasi5. Mengembangkan keterampilan, kreativitas dan
kemapuan yang dimiliki anak6. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan
dasar.Pendidikan anak usia dini juga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan
multikultur. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam
ras, suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya yang beraneka ragam. Dimasa yang
akan datang ada kecenderungan terjadinya pluralitas budaya. Siswa akan
mengalami mobilitas yang tinggi. Terutama di kota-kota besar banyak sekolah
yang siswanya berasal dari beragam latar belakang. Baik itu latar belakang
budaya, suku bangsa, agama, ras, dan ragam budaya yang lain, sehingga kondisi
siswa sangat heterogen. Untuk menghadapi kondisi semacam ini tentunya para pendidik
atau guru hendaknya mampu memberi layanan pendidikan multikultur agar setiap
anak merasa diperlakukan dengan baik di seokolah sesuai dengan kuktur
budayanya.Pendidikan anak usia dini bertujuan membimbing dan mengembangkan
potensi setiap anak agar dapat berkembang secara optimal sesuai tipe
kecerdasannya. Oleh karena itu pendidik atau guru harus memahami kebutuhan
khusus atau kebutuhan individual anak. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa
ada faktor-faktor yang sulit atau tidak dapat dirubah dalam diri anak yaitu
faktor genetis. Karena itulah pendidikan anak usia dini diarahkan untuk
memfasilitasi setiap anak dengan lingkungan dan bimbingan belajar yang tepat
agar anak dapat berkembang sesuai kapasitas genetisnya. Anak usia dini
dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui
tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal lain yang
terkait dengan kehidupan duniawi. Usia dini merupakan masa bagi seorang anak
untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain serta memahaminya. Oleh karena
itu seorang anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang
kehidupan dunia dan segala isinya.Selain itu, TK sebagai suatu insitusi formal
dalam melakukan pendidikan untuk anak usia dini juga bertujuan membantu anak
didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral
dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik,
kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Sedangkan ruang
lingkup kurikulum di TK dan RA meliputi aspek perkembangan:1. Moral dan
nilai-nilai agama2. Sosial, emosional dan kemandirian3. Kemampuan berbahasa4.
Kognitif5. Fisik/motorik6. Seni.Dilihat dri fungsi, tujuan dan ruang lingkupnya
tersebut, maka jelaslah bahwa penanaman nilai moral pada anak usia dini
sangatlah penting, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan
formal, yaitu TK atau RA. Dengan kata lain, pendidikan formal (TK) memiliki
peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai moral. Tanpa ada pendidikan
manusia akan banyak dikendalikan oleh dorongan kebutuhan biologisnya belaka
ketika hendak menentukan atau memilih sesuatu dalam kehidupannya.
C. Pendekatan dan Metode Dalam
Penanaman Nilai moral Kepada Anak Usia Dini
Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara
bergantian, bahkan keduanya seringkali dikaburkan atau disamakan dalam
penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan yang bisa
dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua istilah tersebut memang
berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta
edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati
atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan adalah
jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti
tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai
suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai
sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan
sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik
ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan
diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik
dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian
pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki
atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan
pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih
pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral
untuk anak usia dini.Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan
pendekatan. Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan
hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos
berarti jalan. Jadi methahodos berarti disebalik jalan (Dwi Siswoyo dkk,
2005 : 82). Untuk saat ini metode diartikan sebagai tata cara. Pendekatan lebih
menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu, maka
metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Substansi perbedaan dari kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya
terletak pada cara kerjanya yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu
merupakan suatu rangkaian yang teratur dan telah diperhitungkan serta teruji
kehandalannya (Otib S. Hidayat, 2006: 4.5).Pemilihan metode dan pendekatan yang
dilakukan pendidik atau guru semestinya dilandasi alasan yang kuat dan
faktor-faktor pendukungnya seperti karakteristik tujuan kegiatan dan
karakteristik anak yang diajar. Karakteristik tujuan adalah pengambangan
kognitif, pengembangan kreativitas, pengembangan bahasa, pengembangan emosi,
pengembangan motorik, dan pengembangan nilai serta pengembangan sikap dan
perilaku. Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat dipergunakan
metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang didasari
oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani kehidupan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.Selain penentuan pendekatan berdasarkan
tujuan kegiatan, karakteristik anak juga ikut menentukan metode yang digunakan
dalam penanaman nilai moral. Anak Taman Kanak-kanak merupakan anak yang
memiliki karakteristik suka bergerak (tidak suka diam), mempunyai rasa ingin
tahu (curiosity) yang tinggi, senang bereksperimen dan menguji, mampu
mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi, dan senang berbicara.
Anak memerlukan dan menunntut untuk bergerak yang melibatkan koordinasi otot
kasar. Anak juga memerlukan kesempatan untuk menggunakan tenaga sepenuhnya saat
melakaukan kegiatan. Oleh karena itu diperlukan ruang yang luas serta sarana
dan prasarana (peralatan) yang memadai.Setiap guru akan menggunakan metode
sesuai dengan gaya melaksanakan kegiatan. Tetapi yang harus diingat bahwa Taman
Kanak-kanak memiliki cara yang khas. Oleh karena itu ada metode-metode yang
lebih sesuai bagi anak Taman Kanak-kanak dibandingkan dengan metode-metode
lain. Misalnya saja guru TK jarang sekali yang menggunakan metode ceramah.
Orang akan segera menyadari bahwa metode ceramah tidak sesuai dan tidak banyak
berarti apabila diterapkan untuk anak TK. Metode-metode yang memungkinkan anak
dapat melakukan hubungan atau sosialisasi dengan yang lain akan lebih sesuai
dengan kebutuhan dan minat anak. Melalui kedekatan hubungan guru dan anak,
seorang guru akan dapat mengembangkan kekuatan pendidik yang sangat penting
(Moeslichatun, 1998: 7).Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia
dini banyak sekali metode dan pendekatan yang dapat digunakan oleh guru atau
pendidik. Namun sebelum memilih dan menerapkan metode dan pendekatan yang ada
perlu diketahui bahwa guru atau pendidik harus memahami benar metode atau
pendekatan yang akan dipakai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal
tidaknya keberhasilan penanaman nilai moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah
bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya
wisata.
1.
Bercerita
Bercerita dapat
dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam
cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama,
nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa
kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur
anak-anaknya dengan cerita atau dongeng.Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan
metode bercerita ini. Dalam bercerita seorang guru harus menerapkan beberapa
hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik.
Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral,
diantaranya:a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelasb.
Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan
anakc. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik
(Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28).Dalam bercerita seorang guru juga dapat
menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu
berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka,
tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa
memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu
lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik
bercerita yang dapat dilakukan diantaranya :a. membaca langsung dari buku
cerita atau dongengb. Menggunakan ilustrasi dari bukuc. Menggunakan papan
flaneld. Menggunakan media bonekae. Menggunakan media audio visualf. Anak
bermain beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 87). Strategi atau cara
yang dapat digunakan ketika guru memilih metode bercerita sebagai salah satu
metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral adalah dengan membagi anak
menjadi beberapa kelompok, misalnya dalam satu kelas dibagi ke dalam 4 (empat)
kelompok. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita duduk dilantai
mengelilingi guru yang duduk di kursi kecil di kelilingi oleh mereka. Anak-anak
yang duduk di lantai akan mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru.
Sedangkan tiga kelompok yang lain duduk pada kursi meja yang lain dengan
kegiatan yang berbeda-beda, misalnya ada yang menggambar, melakukan kegiatan
melipat kertas, sedangkan kelompok yang keempat membentuk plastisin. Anak-anak
yang mengikuti kegiatan bercerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan
menggambar, melipat kertas, membentuk plastisin. Melalui cara ini masing-masing
anak akan mendapatkan kegiatan atau pengalaman belajar yang sama secara
bergantian.
2.
Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu
pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan
bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa
yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan
kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan
kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak
tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki
keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan
sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak
tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya
jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penamanan
nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini.Bernyanyi jika
digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan
melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu
tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak TK harus memperhatikan kriteria
sebagai berikut:a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjangb. Mudah dihafal oleh
anakc. Ada misi pendidikand. Sesuai dengan karakter dan dunia anake. Nada yang
diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.28).
1. Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku
kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata
(Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca
sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira,
dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat
haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin
melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya.Melalui metode
sajak guru bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode
yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak
dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni.
Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat
yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki
kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap
sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
2. Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode
pengajaran di TK dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan
kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan
karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan
sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri.
Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat
membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi.
Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman
Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas.Melalui metode karya
wisata ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi
anak karya wisata dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap
sesuatu, memperluas informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan
pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak.
Informasi-informasi yang didapatkan anak melalui karya wiasata dapat pula
dijadikan sebagai batu loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses
pembelajaran.Kedua, karya wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu
hal, seperti untuk mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat
dibawa ke kebun binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah
laku binatang. Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi
lebih lanjut seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang
biaknya, cara mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya
akan nilai pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkatkan
pengembangan kemampuan sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak.
Apabila dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu
mengembangkan aspek perkembangan sosial anak, misalnya kemampuan dalam
menggalang kerja sama dalam kegiatan kelompok.Keempat, karya wisata
dapat juga mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai
lingkungan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya
wisata membantu anak memperoleh pemahaman penuh tentang kehidupan manusia
dengan bermacam perkerjaan, kegiatan yang menghasilkan suatu karya atau jasa.
Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman
Kanak-kanak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek
kognitif, bahasa, kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan
pada karya atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan
dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman
Kanak-kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota
atau desa, pesisir, dan pegunungan.Adapun beberapa pendekatan yang dapat
digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo
dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh,
dan pembiasaan dalam perilaku.
1. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah
banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini
masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72)
menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa,
maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi
guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai
keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara
tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai
hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
2. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak
secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk,
tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai
dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini
benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu
moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk anak
TK? Ternyata jawabannya dapat, karena anak TK yang berumur 6 tahun berada dalam
masa transisi ke arah perkembangan moral yang lebih tinggi, sehingga mereka
perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan keterampilan bertindak secara moral
sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi Siswoyo (2005:76).
3. Teladan atau Contoh
Anak TK mempunyai kemampuan yang menonjol dalam
hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau
contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan
dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat
penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan
ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih
dahulu pada gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral
yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator,
pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu
orang lain dalam melakukan refleksi.Dalam pendekatan ini profil ideal guru
menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan moral. Banyak para ahli yang
berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John Wilson dan Kohlberg.
Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah satu proses sosial yang
berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga
mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi
moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya (Dwi Siswoyo, 2005:76).
Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa tugas utama guru adalah memberi
kontribusi terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru disini adalah
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir, mempertimbangkan dan
mengambil keputusan.
4. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang berlaku di TK terkait dengan
penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah
laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum
dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru
dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan
sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak
melanggar segera diberi peringatan.Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam
penanaman nilai moral menurut W. Huitt (2004) diantaranya adalah inculcation,
moral development, analysis, klarifikasi nilai, dan action
learning.
1. Inculcation
Pendekatan ini bertujuan untuk
menginternalisasikan nilai tertentu kepada siswa serta untuk mengubah nilai-nilai
dari para siswa yang mereka refleksikan sebagai nilai tertentu yang diharapkan.
Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya modeling,
penguatan positif atau negatif, alternatif permainan, game dan simulasi,
serta role playing.
2. Moral
development
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa
mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks berdasarkan seperangkat
nilai yang lebih tinggi, serta untuk mendorong siswa mendiskusikan
alasan-alasan pilihan dan posisi nilai mereka, tidak hanya berbagi dengan
lainnya, akan tetapi untuk membantu perubahan dalam tahap-tahap penalaran moral
siswa. Metode yang dapat digunakan diantaranya episode dilema moral dengan
diskusi kelompok kecil.
3. Analysis
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa
menggunakan pikiran logis dan penelitian ilmiah untuk memutuskan masalah dan
pertanyaan nilai, untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional,
proses-proses analitik, dalam menghubungkan dan mengkonseptualisasikan
nilai-nilai mereka, serta untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan
kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola-pola
perilakunya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya
diskusi rasional terstruktur yang menuntut aplikasi rasio sama sebagai
pembuktian, pengujian prinsip-prinsip, penganalisaan kasus-kasus analog dan
riset serta debat.
4. Klarifikasi
nilai
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa
menjadi sadar dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan juga yang
dimiliki oleh orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara terbuka dan
jujur dengan orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu siswa
menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan
personal, nilai-nilai dan pola berikutnya. Metode yang dapat digunakan dalam
pendekatan ini antara lain, role playing games, simulasi, menyusun atau
menciptakan situasi-situasi nyata atau riil yang bermuatan nilai, latihan
analisis diri (self analysis) secara mendalam, aktivitas melatih
kepekaan (sensitivity), aktivitas di luar kelas serta diskusi kelompok
kecil.
5. Action
learning
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberi peluang
kepada siswa agar bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan kepada
nilai-nilai mereka, mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri sebagai
makhluk yang tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial personal,
tetapi anggota suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam
pendekatan ini adalah metode-metode didaftar atau diurutkan untuk analisis dan
klarifikasi nilai, proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan,
keterampilan praktis dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar
pribadi.