Perbedaan antara religIus
dan spiritual sangat tipis, dan terkadang sulit membedakan keduanya. Sepintas
memang sama, tetapi jika dikaji ulang keduanya jelas berbeda. Dalam kamus
Bahasa Inggris-Indonesia Jhon M. Ecols dan Hasan Sadily, keduanya memang sama
dalam bentuk katanya, yaitu sama-sama kata sifat. Namun, secara arti religius (
religious ), berarti yang berhubungan dengan agama, beragama, beriman,
keimanan. Sedangkan, spiritual ( spiritual ), berarti bathin, rohani.
Jika merujuk pada Danah
Zohar dan Ian Marshall, dalam buku Landasan Bimbingan dan Konseling ( Syamsu
Yusuf dan Juntika Nurihasan ) mengemukakan bahwa spiritual dan religius tidak
ada hubungannya. Namun, hal yang demikian hanya bersifat sekuler, dalam arti
hanya sebatas hubungan antar manusia dan terlepas dari nilai-nilai agama. Religius
dapat kita katakan bersifat eksternal, karena yang namanya beriman atau
beragama berarti mentaati seperangkat aturan dan keyakinan yang datangnya dari
luar diri. Sedangkan spiritual bersifat internal, karena spiritual ini mengarah
kepada masing-masing individu yang bersumber dari hati yang paling dalam.
Namun, bagaimana dengan
perspektif islam, menanggapi perbedaan antara spiritual dan religius ?
Maka jawabannya, keduanya
tidak dapat dipisahkan karena saling terkorelasi yaitu dalam “ keimanan ”.
Spiritual dalam perspektif islam adalah yang berhubungan dengan ruh, semangat
atau jiwa, religius, atau yang berhubungan dengan agama, keimanan, keshalehan,
dan menyangkut nilai-nilai transendental. Sedangkan religius mengandung arti
beragama, beriman, keimanan.
Kemudian apakah perbedaan antara
keduanya ?
Dalam islam, kita diberi fitrah (
potensi ), dan salah satu potensi yang Allah berikan kepada manusia adalah
potensi spiritual yang tidak terlepas dari nilai-nilai agama ( religious ).
Spiritual inilah yang dianugrahkan kepada setiap individu karena dalam hal ini
spiritual berasal dari dalam individu dan masing-masing memilikinya. Lain
halnya dengan religius, memang benar terkorelasi dengan keimanan, tapi jika
religius atau beriman atau beragama bersifat eksternal. Karena orang yang
beragama, atau orang yang beriman berarti dia mentaati semua aturan-aturan dan keyakinan
yang datang dari luar diri. Sedangkan spiritual bersifat internal yang
datangnya dari dalam hati yang setiap orang memilikinya.
Kita mungkin pernah
mendengar istilah orang yang cerdas spiritualnya belum tentu dia beriman.
Misalnya seorang atheis yang tidak bertuhan tetapi kecerdasan spiritualnya
tinggi. Berarti secara tidak langsung ada pemisahan antara religius dengan
spiritual yang datangnya dari dalam hati. Tidak demikian dengan perspektif
islam. Seharusnya orang yang beriman tingkat kecerdasan spiritualnya pun juga
tinggi. Mengapa demikian karena dalam pandangan ini agama mengajarkan
nilai-nilai luhur yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Khususnya
islam, atau orang-orang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah, maka
kualitas spiritualnya merupakan dampak atau perwujudan dari keimanan tersebut.
Sehingga dapatlah kita katakan bahwa orang yang beriman, spiritualnyapun sudah
pasti bernilai tinggi.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa, religius dan spiritual berkait erat dan terkorelasi dalam keimanan.
Keduannya berupa sifat, yang sebenarnya merupakan potensi yang Allah berikan
kepada manusia dengan sebuah perwujudan, yaitu keimanan. jika religius bersifat
eksternal, maka spiritual bersifat internal. Namun, keduanya tidak terpisah,
karena keduanya integral.
How about SABAR
?
Sabar atau dalam bahasa
inggris patient, merupakan sifat. Yang dalam perspektif tasawuf sabar adalah
suatu bentuk karakter diri pribadi yang mendukung pelaksanaan itba’assunnah.
itba’assunnah ini diibaratkan sebagai air dan diibaratkan sebagai suhu
dibalik air tersebut jika suhunya rendah air akan membeku dan jika suhunya
meningkat maka air itu akan mencair dan pada saat suhu airnya meninggi dapat
mendidih.
Sabar dapat diartikan
sebagai tahan uji secara mental untuk mendidik diri agar selalu jihadunnafs
sehingga nafs menjadi patuh dan tunduk dan dijadikan tunggangan untuk mendekat
kepada Allah. Dari segi pembentukan watak sabar, orang yang sabar itu ada tiga
macam, yaitu :
a. Mutashshobbir,
yaitu orang yang berikhtiar menjadi sabar.
b. Shabir,
ialah orang yang sabar dalam menghadapi ujian, cobaan, penderitaan dan lain
sebagainya.
c. Shabur,
orang yang telah sungguh-sungguh sabar dan konsisten atau istiqomah dan bisa
membimbing orang lain menjadi sabar.
Sabar juga dapat
diartikan menahan diri dan membawanya kepada yang dituntunkan syara’ akal serta
menghindarkannya dari apa yang dibenci
oleh keduanya. Jadi sabar adlah suatu kekuatan jiwa, daya positif yang
mendorong jiwa untuk menunaikan kewajiban dan suatu kekuatan ( daya ) preventif
yang menghalangi seseorang untuk melakukan kejahatan.
Imam
alghazali mengatakan bahwa sabar adalah tetap tegaknya dorongan agama
berhadapan dengan dorongan agama adalah hidayang Allah kepada manusia untuk
mengenali-Nya, rasul-Nya serta mengetahui and mengamalkan ajaran-Nya dan
kemaslahatan yang bertalian dengan akibat-Nya. Sabar dalam pandangan al-ghazali
ada dua jenis, yaitu :
1. As-shabar
an-nafs, yaitu sebagai kesabaran jiwa,
pengekangan tuntutan nafsu dan amarah.
2. As-shabar
al-badani, yaitu menahan terhadap penyakit fisik.
Sabar merupakan kunci kebahagiaan
dan menjamin tercapainya tujuan. Dengan sabar maka buah-buahan menjadi terasa
manis, dengan sabar si musafir mampu menjelajah padang pasir yang tidak tampak
batasnya, dan untuk menjelajahi jalan setapak melalui hutan belantara yang
bergunung-gunung dan berlembah-lembah yang berbatu-batu dan penuh tantangan.
Lalu
apa hubungannya sabar dengan kerja psikologi ?. sabar merupakan salah satu
sikap yang harus dimiliki oleh seorang konselor ketika menjalankan tugasnya.
Sabar dalam meneima dan mendengarkan keluhan klien karena terkadang konselor
atau terapis dihadapkan pada sikap klien yang tidak dapat diterima oleh akal
fikiran atau pandangan mata kasar. Sehingga kesabaran dalam kerja psikologi
adalah kesabaran dalam hal :
a.
Mendengarkan keluhan
dan perasaan yg tidak nyaman dari individu
b. Proses
melakukan terapi baik berupa konseling atau psikoterapi terhadap gangguan
kejiwaan yang lebih berat,
c. Bersikap
mulia, bahwa apa yang sedang dilakukan merupakan ibadah dan semata-mata hanya
untuk menjalankan perintah Allah.
d.
Menghadapi cobaan,
tingkah laku atau sikap dari individu atau klien yang kadang-kadang dapat
menyinggung atau menyakitkan hati dan perasaan konselor dan terapis.
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com