Jumat, 20 Desember 2013

What is the difference between Religious and Spiritual ?



Perbedaan antara religIus dan spiritual sangat tipis, dan terkadang sulit membedakan keduanya. Sepintas memang sama, tetapi jika dikaji ulang keduanya jelas berbeda. Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia Jhon M. Ecols dan Hasan Sadily, keduanya memang sama dalam bentuk katanya, yaitu sama-sama kata sifat. Namun, secara arti religius ( religious ), berarti yang berhubungan dengan agama, beragama, beriman, keimanan. Sedangkan, spiritual ( spiritual ), berarti bathin, rohani.
Jika merujuk pada Danah Zohar dan Ian Marshall, dalam buku Landasan Bimbingan dan Konseling ( Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihasan ) mengemukakan bahwa spiritual dan religius tidak ada hubungannya. Namun, hal yang demikian hanya bersifat sekuler, dalam arti hanya sebatas hubungan antar manusia dan terlepas dari nilai-nilai agama. Religius dapat kita katakan bersifat eksternal, karena yang namanya beriman atau beragama berarti mentaati seperangkat aturan dan keyakinan yang datangnya dari luar diri. Sedangkan spiritual bersifat internal, karena spiritual ini mengarah kepada masing-masing individu yang bersumber dari hati yang paling dalam.
Namun, bagaimana dengan perspektif islam, menanggapi perbedaan antara spiritual dan religius ? 
Maka jawabannya, keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling terkorelasi yaitu dalam “ keimanan ”. Spiritual dalam perspektif islam adalah yang berhubungan dengan ruh, semangat atau jiwa, religius, atau yang berhubungan dengan agama, keimanan, keshalehan, dan menyangkut nilai-nilai transendental. Sedangkan religius mengandung arti beragama, beriman, keimanan.
Kemudian apakah perbedaan antara keduanya ?
Dalam islam, kita diberi fitrah ( potensi ), dan salah satu potensi yang Allah berikan kepada manusia adalah potensi spiritual yang tidak terlepas dari nilai-nilai agama ( religious ). Spiritual inilah yang dianugrahkan kepada setiap individu karena dalam hal ini spiritual berasal dari dalam individu dan masing-masing memilikinya. Lain halnya dengan religius, memang benar terkorelasi dengan keimanan, tapi jika religius atau beriman atau beragama bersifat eksternal. Karena orang yang beragama, atau orang yang beriman berarti dia mentaati semua aturan-aturan dan keyakinan yang datang dari luar diri. Sedangkan spiritual bersifat internal yang datangnya dari dalam hati yang setiap orang memilikinya.
Kita mungkin pernah mendengar istilah orang yang cerdas spiritualnya belum tentu dia beriman. Misalnya seorang atheis yang tidak bertuhan tetapi kecerdasan spiritualnya tinggi. Berarti secara tidak langsung ada pemisahan antara religius dengan spiritual yang datangnya dari dalam hati. Tidak demikian dengan perspektif islam. Seharusnya orang yang beriman tingkat kecerdasan spiritualnya pun juga tinggi. Mengapa demikian karena dalam pandangan ini agama mengajarkan nilai-nilai luhur yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Khususnya islam, atau orang-orang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah, maka kualitas spiritualnya merupakan dampak atau perwujudan dari keimanan tersebut. Sehingga dapatlah kita katakan bahwa orang yang beriman, spiritualnyapun sudah pasti bernilai tinggi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, religius dan spiritual berkait erat dan terkorelasi dalam keimanan. Keduannya berupa sifat, yang sebenarnya merupakan potensi yang Allah berikan kepada manusia dengan sebuah perwujudan, yaitu keimanan. jika religius bersifat eksternal, maka spiritual bersifat internal. Namun, keduanya tidak terpisah, karena keduanya integral.

How about SABAR ?
Sabar atau dalam bahasa inggris patient, merupakan sifat. Yang dalam perspektif tasawuf sabar adalah suatu bentuk karakter diri pribadi yang mendukung pelaksanaan itba’assunnah. itba’assunnah ini diibaratkan sebagai air dan diibaratkan sebagai suhu dibalik air tersebut jika suhunya rendah air akan membeku dan jika suhunya meningkat maka air itu akan mencair dan pada saat suhu airnya meninggi dapat mendidih.
Sabar dapat diartikan sebagai tahan uji secara mental untuk mendidik diri agar selalu jihadunnafs sehingga nafs menjadi patuh dan tunduk dan dijadikan tunggangan untuk mendekat kepada Allah. Dari segi pembentukan watak sabar, orang yang sabar itu ada tiga macam, yaitu :
a.       Mutashshobbir, yaitu orang yang berikhtiar menjadi sabar.
b.      Shabir, ialah orang yang sabar dalam menghadapi ujian, cobaan, penderitaan dan lain sebagainya.
c.       Shabur, orang yang telah sungguh-sungguh sabar dan konsisten atau istiqomah dan bisa membimbing orang lain menjadi sabar.
Sabar juga dapat diartikan menahan diri dan membawanya kepada yang dituntunkan syara’ akal serta menghindarkannya dari  apa yang dibenci oleh keduanya. Jadi sabar adlah suatu kekuatan jiwa, daya positif yang mendorong jiwa untuk menunaikan kewajiban dan suatu kekuatan ( daya ) preventif yang menghalangi seseorang untuk melakukan kejahatan.
            Imam alghazali mengatakan bahwa sabar adalah tetap tegaknya dorongan agama berhadapan dengan dorongan agama adalah hidayang Allah kepada manusia untuk mengenali-Nya, rasul-Nya serta mengetahui and mengamalkan ajaran-Nya dan kemaslahatan yang bertalian dengan akibat-Nya. Sabar dalam pandangan al-ghazali ada dua jenis, yaitu :
1.      As-shabar an-nafs, yaitu sebagai kesabaran jiwa, pengekangan tuntutan nafsu dan amarah.
2.      As-shabar al-badani, yaitu menahan terhadap penyakit fisik.
Sabar merupakan kunci kebahagiaan dan menjamin tercapainya tujuan. Dengan sabar maka buah-buahan menjadi terasa manis, dengan sabar si musafir mampu menjelajah padang pasir yang tidak tampak batasnya, dan untuk menjelajahi jalan setapak melalui hutan belantara yang bergunung-gunung dan berlembah-lembah yang berbatu-batu dan penuh tantangan.
            Lalu apa hubungannya sabar dengan kerja psikologi ?. sabar merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang konselor ketika menjalankan tugasnya. Sabar dalam meneima dan mendengarkan keluhan klien karena terkadang konselor atau terapis dihadapkan pada sikap klien yang tidak dapat diterima oleh akal fikiran atau pandangan mata kasar. Sehingga kesabaran dalam kerja psikologi adalah kesabaran dalam hal :
a.       Mendengarkan keluhan dan perasaan yg tidak nyaman dari individu
b.      Proses melakukan terapi baik berupa konseling atau psikoterapi terhadap gangguan kejiwaan yang lebih berat,
c.       Bersikap mulia, bahwa apa yang sedang dilakukan merupakan ibadah dan semata-mata hanya untuk menjalankan perintah Allah.
d.      Menghadapi cobaan, tingkah laku atau sikap dari individu atau klien yang kadang-kadang dapat menyinggung atau menyakitkan hati dan perasaan konselor dan terapis.

Rabu, 18 Desember 2013

PENDIDIKAN BERKUALITAS NILAI-NILAI AQIDAH BERBASIS SAINS DAN TEKNOLOGI

Kemampuan yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. berdasarkan kemampuan itulah manusia mengalami perkembangan selama berabad-abad yang lalu dan tetap terbuka kesempatan luas untuk memperkaya diri dan mencapai taraf kebudayaan yang lebih tinggi. Misalnya, para ahli teknologi berusaha terus untuk menemukan sumber-sumber energy yang baru dengan mempergunakan hasil penemuan ilmiah yang telah digali oleh generasi-generasi terdahulu. Namun, tanpa dibekali kemampuan belajar, kemajuan dibidang teknologi tidak akan tercapai.
Masing-masing dari manusia juga mengalami perkembangan di berbagai bidang kehidupan, moral, etika estetika, sosial masyarakat. Tegasnya bahwa temuan apapun yang diperoleh dari kajian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya.
Supaya perkembangan anak berlangsung sebagaimana yang diharapkan, anak perlu dididik, maka perlu sebagi tahap awal, dimengerti apa itu  “ pendidikan “. Yaitu bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa agar ia mencapai kedewasaan. Pola pendidikan yang diberikan dalam hal ini adalah pemdampingan, bimbingan agar anak belajar tentang hal-hal yang positif sehingg dapat menunjang perkembangannya ( memenuhi tugas perkembangannya ). Maka, cara belajar anak pun tidak dibiarkan berlangsung dengan sendirinya tanpa adanya pengarahan dan tanpa tujuan.
Pendidikan sangat dibutuhkan untuk perkembangan anak pada aspek kognitif ( termasuk kesadaran, perasaan ), konatif ( perilaku yang secara tersirat mempunyai tujuan ), dan efektif, perkembangan material dan spiritual. Selagi pendidikan berperan sebagai pusat perubahan konstruktif di dunia saat ini, lembaga-lembaga pendidikan terkenal tetap saja sulit diperbaharui, lebih mudah memperbarui sebuah makam ketimbang sebuah sekolahan atau pendidikan. Theodore s. rizer, pernah berujar, “ sebuah kualitas yang aneh dalam pendidikan adalah bahwa, sementara kebanyakan orang mengalami secara pribadi, hanya segelintir orang yang mempelajarinya dengan serius “. Sehingga yang dipentingkan adalah sekedar sekolah, orang tua tidak tahu paradigma, visi, misi dan tujuan pendidikan bagi anak-anaknya. Lebih aneh lagi jika yang tidak mengetahui semua itu adalah pendidik yang secara langsung berinteraksi dengan pendidikan dimana dia bekerja ( diartikan mengabdi )
Nampa mudah, meski demikian, sekedar untuk mengikuti pola dan praktik tradisional dan menganggap bahwa kegagalan-kegagalan skeolah adalah hasil yang samar-samar dari sekelompok orang yang sering disebut oknum pendidikan terdiri dari pendidik yang berniat melestarikan kemapanan diberbagai jabatan sebagai guru, dosen, dan administrator. Departemen pendidikan serta badan akreditasi pendidikan yang semuanya bertekad menonjolkan ideologinya sendiri-sendiri yang didasarkan pada pengalamannya sendiri, kemudian diterik dengan generalisasi dan disebarkan di sekolah-sekolah. Yang sebenarnya bukan penggeneralisasian. Silberman mengatakan bahwa biang kegagalan persekolahan bukannya persekongnkolan jahat atau kolusi, melainkan kekerasan dan sikap serta tindakan tanpa pikir. Gagalna seluruh jajaran pendidikan dalam pembentukan generalisasi berpikir mendalam dan secara serius mengenai tujuan serta konsekuensi pendidikan inilah jantung persoalannya.
Mengutip dari Charles E. Silberman, crisis in the classroom, sebagai berikut, “ jika perilaku tanpa pikir adalah persoalan utama pendidikan kita, maka penyelesaiannya mestilah dengan cara penyuntikan tujuan, atau lebih penting lagi adalah dengan memikirkan tentang tujuan serta  cara dimana berbagai teknik, isi pengajaran dan pengorganisasian pendidikan memenuhi ataukah justru melenyapkan tujuan. Itu semua harus disuntikan ke lembaga itu untuk mengaburkan pemahaman tentang rutinitas sebagai tujuan dengan tindakan yang bertujuan untuk menjadikan cara-cara itu sebagai tujuan itu sendiri, maka pencangkokan tujuan itu tadi jelas tidak akan bisa selesai hanya dnegan sekali tembak.
Nilai sebuah ilmu pengetahuan
            Ilmu pengetahuan boleh jadi diasumsikan sebagai tenaga terkuat yang pernah dilihat manusia. Sebegitu kuatnya sampai-sampai manusia bukan apa-apa dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya. Dimasa mendatang, prediksi akan kebesaran dan kekuatan ilmu pengetahuan ternyata merupakan usaha sia-sia yang sangat memilukan dan memalukan. Kekuatan justru bisa jadi sangat membahayakan, khsusunya jika yang menggunakan adalah mereka yang serakah, irasional dengan penunjang peradaban ( moralitas ) yang tidak memadai sebagai manusia. Hal ini seperti seekor monyet yang menemukan pistol yang berisiskan peluru.
Segala macam bentuk usaha manusia selalu didasarkan pada tujuan. Tapi, tujuan dan jalan menuju tujuan tersebut selalu dipilih berdasarkan nilai dan keyakinan yang dimiliki. Nilai adalah hal yang sangat penting bagi manusia, karena nilai adalah suatu hal yang memberikan makna terhadap kehidupan yang dimiliki manusia, nilai adalah jiwa yang member perasaan kepada manusia –bahwa dialah seorang manusia, nilai adalah esensi dari perwujudan manusia itu sendiri. Sehingga dalam segala macam upaya apapun jangan pernah kita kehilangan nilai, kita jangan pernah kehilangan tujuan manusia, kita jangan pernah kehilangan kemnusiaan sendiri.
            Ilmu pengetahuan dimulai dengan sangat penuh syarat nilai moralitas ( walaupun tanpa aspek spiritual ), penuh dengan sarat akan tujuan. Ia adalah perjuanga terhadap kebohongan, perjuangan terhadap belenggu kebodohan, keacuhan dan ketidaktahuan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia itu sendiri. Dan dia harus menjalani perjuangan berat terhadap ribuan umat manusia, manusia yang ikhlas menerima kedatangan berdasarkan keyakinan mereka, atau dibelah dan dipilah sebagai ilmu dunia atau ilmu akherat.
Ilmu pengetahuan telah keluar dari jalur nilai yang diembannya dalam membentuk manusia yang kritis, inovatif, obyektif, penyadaran akan jati diri manusia, sehingga menjadi yang disebut sebagai manusia, pada akhirnya mencari kebenaran nalar logis ( hati nurani yang berbicara ) untuk dapat mengenali tuhannya. Ilmu pengeahuan telah kehilangan maknanya bagi umat manusia. Manusia telah merasa tidak kenal dengan ilmu pengetahuan, jauh dari penalaran yang dikehendaki oleh perwujudan ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga tidak pernah member manfaat bagi kemanusiaannya. Bermain-main dengan tanpa tujuan sesungguhnya adalah sangat berbahaya. Ditambah lagi ilmu pengetahuan ( agama atau umum ) kini justru pemakaiannya yang banyak adalah sistem-sistem yang rakus, serakah dengan tujuan melegitimasikankeberadaan mereka, sebuah pengakuan dari pandangan sebelah mata mereka.
Sistem politi dan ekonomi yang berhasil menguasai hasil jalan dan arah perkembangan ilmu pengetahuan ( pendidikan ). Memunculkan kepribadian yang terbelah dan timbulnya sumberdaya manusia mekanik, suatu hal yang irasional. Demikian pula ekonomi, merupakan sistem irasional yang bertujuan meningkatkan produksi dan daya konsumsi di dalam tingkatan yang tak terbatas. Menjadi mereka yang ilusi-ilusi kebahagiaan hidup yang merupakan kebahagiaan hidup yang merupakan kebohongan belaka. Dengan kemampuannya menciptakan dunia virtual yang menawan dan indah serta romantis. Menjejali mereka dengan nilai-nilai yang tidak pada tempatnya yang bertujuan hanya meningkatkan omzet dan keuntungan meningkatkan ketidakmasuk akalan, yang sebenarnya bukanlah suatu nilai ( hakiki ), hal itu adalah kesia-siaan belaka, bahkan sebenarnya rugi.
Dalam politik dan ekonomi berkolaborasi dengan menggunakan senjata ilmu pengetahuan, untuk mencapai tujuannya dengan nilai-nilai sempit sistem dari kepentingan-kepentingan pribadi mereka, menghancurkan tujuan luhur dan nilai mulia ( nilai hakiki ilahi ) kemanusiaannya. Untuk itu sudah waktunya kita menempatkan potensi kemanusiaan yang berbudaya ( islam  murni dan hakiki ) dalam memahami ilmu pengetahuan sebagai dan berbarengan dengan nilai-nilai ilahi. Bahkan sudah saatnya pula untuk memikirkan ulang paradigm politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan bahkan kebudayaan sendiri.
Padahal pendidikan yang beragama, memiliki kawasan yang sangat luas yang bermuara pada implementasi diri setiap peserta didik sesuai dengan ajaran islam yang hakiki. Dari segala aspek kehidupan, baik aspek ritual, intelektual, sosial maupun lainnya. Dengan demikian, aspek yang perlu dikembangkan adalah visi yang mengacu pada reformulasi pengembangan rasa beragama bagi masyarakat ( para peserta didik ). Sehingga dibutuhkan reformulasi visi dan misi pendidikan.
Sebagai contoh, kenyataan menunjukkan banyak orang mengaku muslim padahal sama sekali mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan islam, tidak menghiraukan hakekatnya, hanya melihat yang tersurat dari yang tersirat. Hal ini ditegaskan dalam Q.S Ar-rum;7, “mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai”
Suatu pendidikan dan manusia yang tidak menghendaki orientasi hidup kecuali kehidupan dunia, pemikiran seperti itu bukanlah ilmu pengetahuan yang pemilik dari pemikiran itu manjadi tempat kepercayaan orang-orang yang mengaku muslim. “ adakah sama orang-orang yang mengetahui dan tidak mengetahui “, ( Q.S Az-Zumar : 109 ).  Orang-orang yang lalai itulah, sering mengambil nash al-qur’an sekedar untuk mencari legitimitas dukungan terhadap dirinya. Bagaimana mereka dapat dimasukkan kedalam golongan bilangan kaum muslimin, seseorang yang pikirannya kosong dari Allah SWT ( dzikir ). Sebab makna syahadah tidak hanya sekedar percaya, namun tanpa pernah membuktikan keberadaan Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya.
Tuhan mengukur kebodohan seseorang dari hatinya, iman yang mendasar. Pandai karena dalam rasa hatinya mengenali jati diri illahi kemudian dihayati.
Karya iman dalam jiwa seseorang bagaikan karya pengetik atau pengumpul huruf-huruf keyboard. Huruf-huruf itu pada mulanya berserakan, bercerai berai, tidak menunjukkan makna dalam kalimat. Kemudian disusun dengan tujuan tertentu sehingga menjadi karya tulis yang dapat dibaca dengan metode ( cara ) yang sesuai dengan fitrah manusia, melalui seseorang yang tahu persis bagaimana untuk dapat sampai kembali dengan selamat kepada tuhannya, dengan hati yang selamat pula.

Kebodohan adalah seonggok tumpukan yang berserakan kemudian diatur dengan kepatuhan keta’atan dididik diarahkan dan dibina kemudian mengerti tentang makna hidup yang sebenarnya. Tumpukan itu menjadi bentuk yang indah dan memiliki makna. Bakat-bakat itu semula kacau, kemudian diatur rapi, mandul kemudian menjadi berbuah, saling bertentangan kemudian menjadi saling berdekatandan saling tolong menolong, mementingkan diri sendiri lalu kerjasama dalam kebersamaan, buta lalu melihat, gelap lalu terang, khawatir lalu bahagia karena ketentraman dan kebahagiaan tidak bisa dicapai dengan kekayaan, kedudukan yang diusahakan, namun hanya dapat dicapai dengan dzikrullah.

MENANAMKAN MORAL KEAGAMAAN BAGI ANAK USIA DINI

Anak merupakan investasi yang sangat penting bagi penyiapan sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Dalam rangka mempersiapakan SDM yang berkualitas untuk masa depan, pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk diberikan sejak usia dini, di samping juga anak harus dipenuhi kebutuhan lainnya, seperti misalnya kebutuhan akan gizi. Pendidikan merupakan investasi masa depan yang diyakini dapat memperbaiki kehidupan suatu bangsa. Memberikan perhatian yang lebih kepada anak usia dini untuk mendapatkan pendidikan, merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mnyiapkan generasi unggul yang akan meneruskan perjuangan bangsa.
Usia dini merupakan masa keemasan (golden age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa ini sekaligus merupakan masa yang kritis dalam perkembangan anak. Jika pada masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Pentingnya pendidikan anak sejak usia dini ini juga didukung penelitian - penelitian yang menemukan bahwa sejak lahir seorang anak manusia memiliki kurang lebih 100 (seratus) miliyar sel otak. Sel-sel otak yang ini saling berhubungan dengan sel-sel syaraf. Sel-sel otak ini tidak akan tumbuh dan berkembang dengan pesat tanpa adanya stimulasi dan didayagunakan (Gutama,dkk., 2005: 3). Pentingnya pendidikan anak sejak usia dini juga didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14). Berdasarkan hal-hal tersebut maka jelaslah bahwa pendidikan sejak usia dini sangatlah penting.Terkait dengan pendidikan yang diberikan sejak usia dini, salah satu bagian penting yang harus mendapatkan perhatian adalah penanaman nilai moral melalui pendidikan di Taman Kanak-kanak. Pendidikan nilai dan moral yang dilakukan sejak usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu akan berpengaruh pada mudah tidaknya anak diterima oleh masyarakat sekitarnya dalam hal bersosialisasi.Pendidikan nilai dan moral sejak usia dini merupakan tanggungjawab bersama semua pihak. Salah satu lembaga pendidikan yang dapat melakukan hal itu adalah Taman Kanak-kanak (TK) yang merupakan salah satu lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang bersifat formal. Di samping masih banyak lembaga PAUD lain yang dapat digunakan sebagai tempat penanaman nilai moral seperti: Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitiapan Anak (TPA), pendidikan keluarga, dan pendidikan lingkungan. Berdasarkan berbagai penelitian yang pernah dilakukan oleh para ahli terhadap anak-anak di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara kecerdasan akal dan keserdasan emosi. Anak-anak yang cerdas justru lebih banyak mengalami gangguan kestabilan emosi. Mereka mudah sekali tersinggung, banyak tekanan, melakukan tindakan agresi, sulit beradaptasi, memiliki sifat egois, dan tidak jarang di antaranya melakukan percobaan bunuh diri. Di kalangan profesional pun ternyata juga terdapat hasil penelitian yang perlu untuk mendapatkan perhatian serius. Di Amerika Serikat ada sebuah istilah when the smart is dumb (ketika orang cerdas menjadi bodoh). Lebih dari 70 % orang cerdas dengan IQ (intelegency Quetion) di atas 135 ternyata bekerja pada orang-orang yang hanya mempunyai kecerdasan rata-rata. Kondisi ini menunjukkan bahwa ternyata di balik badan dan pikiran, masih ada alam lain yang perlu disentuh dengan pendidikan, yaitu hati (Suharno, 2007:1).Anak TK adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan pra operasional kongkrit seperti yang dikemukakan oleh Piaget, sedangkan nilai-nilai moral merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga dalam hal ini anak belum dapat dengan serta merta menerima apa yang diajarkan guru atau orang tua yang sifatnya abstrak secara cepat. Untuk itulah guru atau pendidik di TK harus pandai dalam memilih dan menentukan metode yang akan digunakan untuk menanamkan nilai moral kepada anak agar pesan moral yang ingin disampaikan guru dapat benar-benar sampai dan dipahami oleh anak untuk bekal kehidupannya di masa depan. Dalam pemilihan dan penerapan metode ini disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan karakteristik anak TK.Metode yang dapat digunakan sangatlah bervariasi, diantaranya metode bercerita, karya wisata, bernyanyi, bermain, dan sebagainya. Untuk memilih dan menerapkan metode yang akan dipakai dalam penanaman nilai moral tersebut guru atau pendidik harus benar-benar mempunyai pemahaman yang memadai akan hal itu. Pemahaman yang dimiliki guru atau pendidik akan mempengaruhi keberhasilan penanaman nilai moral secara optimal. Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud mengungkap bagaimana metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini di beberapa TK yang mempunyai karakteristik pendidikan Islam serta bagaimana pengaruh pemakaian metode tersebut terhadap keberhasilan pelaksanaan penanaman nilai moral di TK.
A. Nilai dan Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta dinyatakan bahwa nilai adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia. Menurut I Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat intrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapun nilai subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu.Menurut Richard Merill dalam I Wayan Koyan (2000 : 13) menyatakan bahwa nilai adalah patokan atau standar yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah ”satisfication, fulfillment, and meaning”. Pendidikan nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik (Darmiyati Zuchdi, 2003: 4).Menurut Kirschenbaum (1995: 7) pendidikan nilai yang dilakukan tidak hanya menggunakan strategi tunggal saja, seperti melalui indoktrinasi, melainkan harus dilakukan secara komprehensif. Strategi tunggal dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif diterapkan, karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai mencakup berbagai aspek.Pertama, pendidikan nilai harus komprehensif meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai, mulai dari pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum.Kedua, metode yang digunakan dalam pendidikan nilai juga harus komprehensif. Termasuk didalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain. Generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru, dan masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya dan mempelajari keterampilan-keterampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri.Ketiga, pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan, seperti di kelas, dalam kegiatan ekstra kurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan dalam semua aspek kehidupan. Contoh-contoh mengenai hal tersebut misalnya tercermin dalam kegiatan yang dilakukan oleh siswa seperti belajar kelompok, penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan. Penggunaan klarifikasi nilai dan dilema moral, pemberian teladan tidak merokok, tidak korup, tidak munafik, dermawan, kejujuran, menyayangi sesama mahluk ciptaan Tuhan, dan lain sebagainya.Keempat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, aparat penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai mempengaruhi kualitas moral generasi muda (Kirschenbaum, 1995: 9-10).Lebih lanjut Kirschenbaum (1995: 15-28) menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan tercapainya pendidikan nilai secara komprehensif ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Di Amerika Serikat untuk merealisasikan pendidikan nilai, berbagai metode, program, dan kurikulum telah dikembangkan dalam rangka menolong generasi muda agar dapat mencapai kehidupan yang secara pribadi lebih memuaskan dan secara sosial lebih konstruktif. Dilihat dari substansinya, ada empat pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai yang komprehensif yaitu realiasi nilai, pendidikan watak, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan moral.
Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.Terkait dengan persoalan moral, para ahli psikologi dan ahli filsafat tidak didapatkan kata sepakat mengenai persoalan apa sebenarnya yang membentuk suatu masalah moral. Namun demikian sebagian para ahli sependapat bahwa masalah moral akan muncul manakala terjadi suatu pertentangan ataupun konflik mengenai persolan tujuan, rencana, hasrat ataupun keinginan serta harapan manusia. Kepekaan seseorang mengenai kesejahteraan dan hak orang lain merupakan pokok persoalan ranah moral. Kepekaan tersebut mungkin tercermin dalam kepedulian seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi orang lain, dan dalam orientasinya terhadap pemilikan bersama serta pengalokasian sumber pada umumnya. Ketika anak-anak berhadapan pada pertentangan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka diharapkan teori developmental dapat mengatasinya. Dengan kata lain, teori ini memusatkan perhatian secara khusus pada bagaimana cara anak-anak menghadapi pertentangan tersebut. Selain itu, proses yang mereka lakukan dalam menyelesaikan permasalahan moral dapat untuk memotivasi agar memperhatikan kepentingan orang lain dan kecenderungan untuk merasa tidak senang manakala mereka tidak memperhatikan kepentingan orang lain (Marthin L. Hoffman, 1992: 470).Pendidikan moral merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai secara komprehensif seperti telah dituliskan di muka. Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan mengatasi konflik, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang (kemudian dinyatakan dengan istilah ”bermoral”). Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen yaitu: pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan mementingkan kepentingan orang lain, dan tendensi moral (Darmiyati Zuchdi, 2003:13).
B. Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam UU No. 23 Tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujuak untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14). Pendidikan untuk anak usia dini (0-8 tahun) merupakan pendidikan yang memiliki karakteristik berbeda dengan anak usia lain, sehingga pendidikannya pun perlu dipandang sebagai sesuatu yang dikhususkan. Pendidikan anak usia dini di negara-negara maju mendapat perhatian yang luar biasa. Karena pada dasarnya pengembangan manusia akan lebih mudah dilakukan pada usia dini. Bahkan ada yang berpendapat bahwa usia dini merupakan usia emas (golden age) yang hanya terjadi sekali selama kehidupan seorang manusia. Apabila usia dini tidak dimanfaatkan dengan menerapkan pendidikan dan penanaman nilai serta sikap yang baik tentunya kelak ketika ia dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga nilai-nilai moral yang kurang baik. Oleh karena itu pendidikan anak usia dini adalah investasi yang sangat mahal harganya bagi keluarga dan juga bangsa.Anak-anak merupakan generasi penerus keluarga sekaligus generasi penerus yang akan meneruskan estafet perjuangan para pendahulu kita. Betapa bahagianya orang tua yang melihat anak-anaknya ”berhasil”, baik dalam pendidikan, berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam berkarya untuk bangsa. Betapa bahagianya orang tua yang dikunjungi oleh anak-anaknya, cucu-cucunya yang lucu, polos, dan belum ada dosa yang diperbuatnya. Sebaliknya, betapa sedih dan malang orang tua yang melihat anak-anaknya gagal dalam pendidikan dan kandas dalam mengarungi kehidupannya. Betapa sedih dan hancurnya hati dan perasaan orang tua yang mendengar anaknya ditangkap polisi dan masuk penjara karena melakukan suatu tindak kejahatan. Oleh karen itu pendidikan anak usia dini menjadi suatu yang urgen dan perlu mendapatkan perhatian yang serius dari setiap keluarga demi menciptakan generasi penerus yang baik dan berakhlaqul karimah.Mengingat pentingya pendidikan untuk anak usia dini, maka di negara-negara maju pendidikan anak usia dini sangat mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Taman Kanak-kanak (TK) dipandang sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional sehingga sederajat dengan SD atau jenjang pendidikan lainnya. Guru TK tidak dipandang lebih mudah dari guru SD atau jenjang pendidikan di atasnya. Banyak perguruan tinggi yang mengembangkan program master dan doktor untuk pendidikan anak usia dini. Tidak sedikit pula guru TK yang memiliki gelar master dan doktor dalam bidang pendidikan anak usia dini. Berbeda dengan di Indonesia, kondisi pendidikan anak usia dini belum tergarap dengan baik. Perhatian pemerintah untuk mengembangkan pendidikan anak usia dini masih jauh dari harapan. Hampir seluruh TK (lebih dari 99 %) adalah TK swasta yang dikembangkan oleh masyarakat secara swadaya. Para guru TK pun pada umumnya tidak memperoleh gaji yang pantas. Selain itu, jumlahnya kurang 1 % yang berstatus PNS. Jumlah anak yang mengenyam pendidikan TK juga sangat rendah, yaitu sekitar 12 % (Slamet Suyanto, 2005: 2-3). Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun. Dalam Standar Kompetensi PAUD dinyatakan bahwa fungsi pendidikan TK dan RA adalah:1. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak2. Mengenalkan anak pada dunia sekitar3. Menumbuhkan sikap dan perilaku baik4. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi5. Mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemapuan yang dimiliki anak6. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.Pendidikan anak usia dini juga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan multikultur. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam ras, suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya yang beraneka ragam. Dimasa yang akan datang ada kecenderungan terjadinya pluralitas budaya. Siswa akan mengalami mobilitas yang tinggi. Terutama di kota-kota besar banyak sekolah yang siswanya berasal dari beragam latar belakang. Baik itu latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, dan ragam budaya yang lain, sehingga kondisi siswa sangat heterogen. Untuk menghadapi kondisi semacam ini tentunya para pendidik atau guru hendaknya mampu memberi layanan pendidikan multikultur agar setiap anak merasa diperlakukan dengan baik di seokolah sesuai dengan kuktur budayanya.Pendidikan anak usia dini bertujuan membimbing dan mengembangkan potensi setiap anak agar dapat berkembang secara optimal sesuai tipe kecerdasannya. Oleh karena itu pendidik atau guru harus memahami kebutuhan khusus atau kebutuhan individual anak. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa ada faktor-faktor yang sulit atau tidak dapat dirubah dalam diri anak yaitu faktor genetis. Karena itulah pendidikan anak usia dini diarahkan untuk memfasilitasi setiap anak dengan lingkungan dan bimbingan belajar yang tepat agar anak dapat berkembang sesuai kapasitas genetisnya. Anak usia dini dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal lain yang terkait dengan kehidupan duniawi. Usia dini merupakan masa bagi seorang anak untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain serta memahaminya. Oleh karena itu seorang anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang kehidupan dunia dan segala isinya.Selain itu, TK sebagai suatu insitusi formal dalam melakukan pendidikan untuk anak usia dini juga bertujuan membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Sedangkan ruang lingkup kurikulum di TK dan RA meliputi aspek perkembangan:1. Moral dan nilai-nilai agama2. Sosial, emosional dan kemandirian3. Kemampuan berbahasa4. Kognitif5. Fisik/motorik6. Seni.Dilihat dri fungsi, tujuan dan ruang lingkupnya tersebut, maka jelaslah bahwa penanaman nilai moral pada anak usia dini sangatlah penting, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan formal, yaitu TK atau RA. Dengan kata lain, pendidikan formal (TK) memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai moral. Tanpa ada pendidikan manusia akan banyak dikendalikan oleh dorongan kebutuhan biologisnya belaka ketika hendak menentukan atau memilih sesuatu dalam kehidupannya.
C. Pendekatan dan Metode Dalam Penanaman Nilai moral Kepada Anak Usia Dini
Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya seringkali dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua istilah tersebut memang berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia dini.Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan pendekatan. Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan. Jadi methahodos berarti disebalik jalan (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 82). Untuk saat ini metode diartikan sebagai tata cara. Pendekatan lebih menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu, maka metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Substansi perbedaan dari kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya terletak pada cara kerjanya yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu merupakan suatu rangkaian yang teratur dan telah diperhitungkan serta teruji kehandalannya (Otib S. Hidayat, 2006: 4.5).Pemilihan metode dan pendekatan yang dilakukan pendidik atau guru semestinya dilandasi alasan yang kuat dan faktor-faktor pendukungnya seperti karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik anak yang diajar. Karakteristik tujuan adalah pengambangan kognitif, pengembangan kreativitas, pengembangan bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik, dan pengembangan nilai serta pengembangan sikap dan perilaku. Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat dipergunakan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang didasari oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.Selain penentuan pendekatan berdasarkan tujuan kegiatan, karakteristik anak juga ikut menentukan metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral. Anak Taman Kanak-kanak merupakan anak yang memiliki karakteristik suka bergerak (tidak suka diam), mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi, senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi, dan senang berbicara. Anak memerlukan dan menunntut untuk bergerak yang melibatkan koordinasi otot kasar. Anak juga memerlukan kesempatan untuk menggunakan tenaga sepenuhnya saat melakaukan kegiatan. Oleh karena itu diperlukan ruang yang luas serta sarana dan prasarana (peralatan) yang memadai.Setiap guru akan menggunakan metode sesuai dengan gaya melaksanakan kegiatan. Tetapi yang harus diingat bahwa Taman Kanak-kanak memiliki cara yang khas. Oleh karena itu ada metode-metode yang lebih sesuai bagi anak Taman Kanak-kanak dibandingkan dengan metode-metode lain. Misalnya saja guru TK jarang sekali yang menggunakan metode ceramah. Orang akan segera menyadari bahwa metode ceramah tidak sesuai dan tidak banyak berarti apabila diterapkan untuk anak TK. Metode-metode yang memungkinkan anak dapat melakukan hubungan atau sosialisasi dengan yang lain akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Melalui kedekatan hubungan guru dan anak, seorang guru akan dapat mengembangkan kekuatan pendidik yang sangat penting (Moeslichatun, 1998: 7).Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia dini banyak sekali metode dan pendekatan yang dapat digunakan oleh guru atau pendidik. Namun sebelum memilih dan menerapkan metode dan pendekatan yang ada perlu diketahui bahwa guru atau pendidik harus memahami benar metode atau pendekatan yang akan dipakai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal tidaknya keberhasilan penanaman nilai moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata.
1.                         Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng.Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita seorang guru harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, diantaranya:a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelasb. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anakc. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28).Dalam bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya :a. membaca langsung dari buku cerita atau dongengb. Menggunakan ilustrasi dari bukuc. Menggunakan papan flaneld. Menggunakan media bonekae. Menggunakan media audio visualf. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 87). Strategi atau cara yang dapat digunakan ketika guru memilih metode bercerita sebagai salah satu metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral adalah dengan membagi anak menjadi beberapa kelompok, misalnya dalam satu kelas dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita duduk dilantai mengelilingi guru yang duduk di kursi kecil di kelilingi oleh mereka. Anak-anak yang duduk di lantai akan mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru. Sedangkan tiga kelompok yang lain duduk pada kursi meja yang lain dengan kegiatan yang berbeda-beda, misalnya ada yang menggambar, melakukan kegiatan melipat kertas, sedangkan kelompok yang keempat membentuk plastisin. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan menggambar, melipat kertas, membentuk plastisin. Melalui cara ini masing-masing anak akan mendapatkan kegiatan atau pengalaman belajar yang sama secara bergantian.

2.                  Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penamanan nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini.Bernyanyi jika digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak TK harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjangb. Mudah dihafal oleh anakc. Ada misi pendidikand. Sesuai dengan karakter dan dunia anake. Nada yang diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.28).
1. Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya.Melalui metode sajak guru bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
2. Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran di TK dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas.Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang didapatkan anak melalui karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran.Kedua, karya wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang. Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pengembangan kemampuan sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek perkembangan sosial anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam kegiatan kelompok.Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan, kegiatan yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan.Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
1. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
2. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk anak TK? Ternyata jawabannya dapat, karena anak TK yang berumur 6 tahun berada dalam masa transisi ke arah perkembangan moral yang lebih tinggi, sehingga mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan keterampilan bertindak secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi Siswoyo (2005:76).
3. Teladan atau Contoh
Anak TK mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi.Dalam pendekatan ini profil ideal guru menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan moral. Banyak para ahli yang berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John Wilson dan Kohlberg. Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah satu proses sosial yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya (Dwi Siswoyo, 2005:76). Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa tugas utama guru adalah memberi kontribusi terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru disini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir, mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
4. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang berlaku di TK terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral menurut W. Huitt (2004) diantaranya adalah inculcation, moral development, analysis, klarifikasi nilai, dan action learning.
1. Inculcation
Pendekatan ini bertujuan untuk menginternalisasikan nilai tertentu kepada siswa serta untuk mengubah nilai-nilai dari para siswa yang mereka refleksikan sebagai nilai tertentu yang diharapkan. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya modeling, penguatan positif atau negatif, alternatif permainan, game dan simulasi, serta role playing.
2. Moral development
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks berdasarkan seperangkat nilai yang lebih tinggi, serta untuk mendorong siswa mendiskusikan alasan-alasan pilihan dan posisi nilai mereka, tidak hanya berbagi dengan lainnya, akan tetapi untuk membantu perubahan dalam tahap-tahap penalaran moral siswa. Metode yang dapat digunakan diantaranya episode dilema moral dengan diskusi kelompok kecil.
3. Analysis
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa menggunakan pikiran logis dan penelitian ilmiah untuk memutuskan masalah dan pertanyaan nilai, untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional, proses-proses analitik, dalam menghubungkan dan mengkonseptualisasikan nilai-nilai mereka, serta untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola-pola perilakunya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya diskusi rasional terstruktur yang menuntut aplikasi rasio sama sebagai pembuktian, pengujian prinsip-prinsip, penganalisaan kasus-kasus analog dan riset serta debat.
4. Klarifikasi nilai
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa menjadi sadar dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan juga yang dimiliki oleh orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara terbuka dan jujur dengan orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola berikutnya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain, role playing games, simulasi, menyusun atau menciptakan situasi-situasi nyata atau riil yang bermuatan nilai, latihan analisis diri (self analysis) secara mendalam, aktivitas melatih kepekaan (sensitivity), aktivitas di luar kelas serta diskusi kelompok kecil.

5. Action learning
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberi peluang kepada siswa agar bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan kepada nilai-nilai mereka, mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri sebagai makhluk yang tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial personal, tetapi anggota suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah metode-metode didaftar atau diurutkan untuk analisis dan klarifikasi nilai, proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan, keterampilan praktis dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar pribadi.


REMEMBERENCE OF DEATH

The holy qur’an and the saying of prophet Muhammad, peace be upon Him, keep on reminding the muslim of death in order to establish in the muslim of death in the muslim a balance between the secular desires and the heavenly ambitions. Allah says in the holy qur’an : 
            Every soul shall have a taste of death, and We test you by evil and by good way of trial to Us must be return
He also say :
            Wherever you are, death will find you out, even if you are in towers built up strong and high
Islam instruct believer that death is not the end of life, that this life is just a stage of life, that there is another life after death, that death is a brige betwe
If a person doesn’t believe in the other life, he will be horrified by the idea of death. He will also be under a tremendous pressure of running after money and lusts, because he think that his life is his only and final chance. This pressure will depriveen two lives, and that death is a turningpoint and not terminal point, this means that muslim belivesthat his life is continous. This belief gives man a feeling of security. How can a person who belives that death is his end, feel secure ?
            Islam tell us to rest assured that we continue living even after death, though in a new way of living. This belief calms the individual. A muslim is not horrified by death, because he knows that death is a transitory stageand not the end of life. man of his internal harmony, security and balance.
It’s really, that muslim believes in the hereafter, in the other life. This make him self-satisfied and secure. He fell secure about the continuity of his life. He fell secure with regard to his continuity and Allah’s justice. This feeling will remove a way despair, hoplessness, and anxiety, and will make man more hopeful, more active, and self confident.
For this, what must we do to face the death ? our prophet Muhammad, peace be upon him, said :
“ work for your life as if you live forever, and for your second life as if you die tomorrow “
We have to consider that the death will really come to us at any time. The wise person gets ready for that day, when everyone will be held responsible for his deeds, wether good or bad. Get ready and be prepared. Be on the alert because nobody knows when he will die. This life is a test periode. We are under test in this short life. How we do on this test determind what kind of reward or punishment which we are going to have on the day of judgment.