Rabu, 18 Desember 2013

PENDIDIKAN BERKUALITAS NILAI-NILAI AQIDAH BERBASIS SAINS DAN TEKNOLOGI

Kemampuan yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. berdasarkan kemampuan itulah manusia mengalami perkembangan selama berabad-abad yang lalu dan tetap terbuka kesempatan luas untuk memperkaya diri dan mencapai taraf kebudayaan yang lebih tinggi. Misalnya, para ahli teknologi berusaha terus untuk menemukan sumber-sumber energy yang baru dengan mempergunakan hasil penemuan ilmiah yang telah digali oleh generasi-generasi terdahulu. Namun, tanpa dibekali kemampuan belajar, kemajuan dibidang teknologi tidak akan tercapai.
Masing-masing dari manusia juga mengalami perkembangan di berbagai bidang kehidupan, moral, etika estetika, sosial masyarakat. Tegasnya bahwa temuan apapun yang diperoleh dari kajian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya.
Supaya perkembangan anak berlangsung sebagaimana yang diharapkan, anak perlu dididik, maka perlu sebagi tahap awal, dimengerti apa itu  “ pendidikan “. Yaitu bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa agar ia mencapai kedewasaan. Pola pendidikan yang diberikan dalam hal ini adalah pemdampingan, bimbingan agar anak belajar tentang hal-hal yang positif sehingg dapat menunjang perkembangannya ( memenuhi tugas perkembangannya ). Maka, cara belajar anak pun tidak dibiarkan berlangsung dengan sendirinya tanpa adanya pengarahan dan tanpa tujuan.
Pendidikan sangat dibutuhkan untuk perkembangan anak pada aspek kognitif ( termasuk kesadaran, perasaan ), konatif ( perilaku yang secara tersirat mempunyai tujuan ), dan efektif, perkembangan material dan spiritual. Selagi pendidikan berperan sebagai pusat perubahan konstruktif di dunia saat ini, lembaga-lembaga pendidikan terkenal tetap saja sulit diperbaharui, lebih mudah memperbarui sebuah makam ketimbang sebuah sekolahan atau pendidikan. Theodore s. rizer, pernah berujar, “ sebuah kualitas yang aneh dalam pendidikan adalah bahwa, sementara kebanyakan orang mengalami secara pribadi, hanya segelintir orang yang mempelajarinya dengan serius “. Sehingga yang dipentingkan adalah sekedar sekolah, orang tua tidak tahu paradigma, visi, misi dan tujuan pendidikan bagi anak-anaknya. Lebih aneh lagi jika yang tidak mengetahui semua itu adalah pendidik yang secara langsung berinteraksi dengan pendidikan dimana dia bekerja ( diartikan mengabdi )
Nampa mudah, meski demikian, sekedar untuk mengikuti pola dan praktik tradisional dan menganggap bahwa kegagalan-kegagalan skeolah adalah hasil yang samar-samar dari sekelompok orang yang sering disebut oknum pendidikan terdiri dari pendidik yang berniat melestarikan kemapanan diberbagai jabatan sebagai guru, dosen, dan administrator. Departemen pendidikan serta badan akreditasi pendidikan yang semuanya bertekad menonjolkan ideologinya sendiri-sendiri yang didasarkan pada pengalamannya sendiri, kemudian diterik dengan generalisasi dan disebarkan di sekolah-sekolah. Yang sebenarnya bukan penggeneralisasian. Silberman mengatakan bahwa biang kegagalan persekolahan bukannya persekongnkolan jahat atau kolusi, melainkan kekerasan dan sikap serta tindakan tanpa pikir. Gagalna seluruh jajaran pendidikan dalam pembentukan generalisasi berpikir mendalam dan secara serius mengenai tujuan serta konsekuensi pendidikan inilah jantung persoalannya.
Mengutip dari Charles E. Silberman, crisis in the classroom, sebagai berikut, “ jika perilaku tanpa pikir adalah persoalan utama pendidikan kita, maka penyelesaiannya mestilah dengan cara penyuntikan tujuan, atau lebih penting lagi adalah dengan memikirkan tentang tujuan serta  cara dimana berbagai teknik, isi pengajaran dan pengorganisasian pendidikan memenuhi ataukah justru melenyapkan tujuan. Itu semua harus disuntikan ke lembaga itu untuk mengaburkan pemahaman tentang rutinitas sebagai tujuan dengan tindakan yang bertujuan untuk menjadikan cara-cara itu sebagai tujuan itu sendiri, maka pencangkokan tujuan itu tadi jelas tidak akan bisa selesai hanya dnegan sekali tembak.
Nilai sebuah ilmu pengetahuan
            Ilmu pengetahuan boleh jadi diasumsikan sebagai tenaga terkuat yang pernah dilihat manusia. Sebegitu kuatnya sampai-sampai manusia bukan apa-apa dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya. Dimasa mendatang, prediksi akan kebesaran dan kekuatan ilmu pengetahuan ternyata merupakan usaha sia-sia yang sangat memilukan dan memalukan. Kekuatan justru bisa jadi sangat membahayakan, khsusunya jika yang menggunakan adalah mereka yang serakah, irasional dengan penunjang peradaban ( moralitas ) yang tidak memadai sebagai manusia. Hal ini seperti seekor monyet yang menemukan pistol yang berisiskan peluru.
Segala macam bentuk usaha manusia selalu didasarkan pada tujuan. Tapi, tujuan dan jalan menuju tujuan tersebut selalu dipilih berdasarkan nilai dan keyakinan yang dimiliki. Nilai adalah hal yang sangat penting bagi manusia, karena nilai adalah suatu hal yang memberikan makna terhadap kehidupan yang dimiliki manusia, nilai adalah jiwa yang member perasaan kepada manusia –bahwa dialah seorang manusia, nilai adalah esensi dari perwujudan manusia itu sendiri. Sehingga dalam segala macam upaya apapun jangan pernah kita kehilangan nilai, kita jangan pernah kehilangan tujuan manusia, kita jangan pernah kehilangan kemnusiaan sendiri.
            Ilmu pengetahuan dimulai dengan sangat penuh syarat nilai moralitas ( walaupun tanpa aspek spiritual ), penuh dengan sarat akan tujuan. Ia adalah perjuanga terhadap kebohongan, perjuangan terhadap belenggu kebodohan, keacuhan dan ketidaktahuan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia itu sendiri. Dan dia harus menjalani perjuangan berat terhadap ribuan umat manusia, manusia yang ikhlas menerima kedatangan berdasarkan keyakinan mereka, atau dibelah dan dipilah sebagai ilmu dunia atau ilmu akherat.
Ilmu pengetahuan telah keluar dari jalur nilai yang diembannya dalam membentuk manusia yang kritis, inovatif, obyektif, penyadaran akan jati diri manusia, sehingga menjadi yang disebut sebagai manusia, pada akhirnya mencari kebenaran nalar logis ( hati nurani yang berbicara ) untuk dapat mengenali tuhannya. Ilmu pengeahuan telah kehilangan maknanya bagi umat manusia. Manusia telah merasa tidak kenal dengan ilmu pengetahuan, jauh dari penalaran yang dikehendaki oleh perwujudan ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga tidak pernah member manfaat bagi kemanusiaannya. Bermain-main dengan tanpa tujuan sesungguhnya adalah sangat berbahaya. Ditambah lagi ilmu pengetahuan ( agama atau umum ) kini justru pemakaiannya yang banyak adalah sistem-sistem yang rakus, serakah dengan tujuan melegitimasikankeberadaan mereka, sebuah pengakuan dari pandangan sebelah mata mereka.
Sistem politi dan ekonomi yang berhasil menguasai hasil jalan dan arah perkembangan ilmu pengetahuan ( pendidikan ). Memunculkan kepribadian yang terbelah dan timbulnya sumberdaya manusia mekanik, suatu hal yang irasional. Demikian pula ekonomi, merupakan sistem irasional yang bertujuan meningkatkan produksi dan daya konsumsi di dalam tingkatan yang tak terbatas. Menjadi mereka yang ilusi-ilusi kebahagiaan hidup yang merupakan kebahagiaan hidup yang merupakan kebohongan belaka. Dengan kemampuannya menciptakan dunia virtual yang menawan dan indah serta romantis. Menjejali mereka dengan nilai-nilai yang tidak pada tempatnya yang bertujuan hanya meningkatkan omzet dan keuntungan meningkatkan ketidakmasuk akalan, yang sebenarnya bukanlah suatu nilai ( hakiki ), hal itu adalah kesia-siaan belaka, bahkan sebenarnya rugi.
Dalam politik dan ekonomi berkolaborasi dengan menggunakan senjata ilmu pengetahuan, untuk mencapai tujuannya dengan nilai-nilai sempit sistem dari kepentingan-kepentingan pribadi mereka, menghancurkan tujuan luhur dan nilai mulia ( nilai hakiki ilahi ) kemanusiaannya. Untuk itu sudah waktunya kita menempatkan potensi kemanusiaan yang berbudaya ( islam  murni dan hakiki ) dalam memahami ilmu pengetahuan sebagai dan berbarengan dengan nilai-nilai ilahi. Bahkan sudah saatnya pula untuk memikirkan ulang paradigm politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan bahkan kebudayaan sendiri.
Padahal pendidikan yang beragama, memiliki kawasan yang sangat luas yang bermuara pada implementasi diri setiap peserta didik sesuai dengan ajaran islam yang hakiki. Dari segala aspek kehidupan, baik aspek ritual, intelektual, sosial maupun lainnya. Dengan demikian, aspek yang perlu dikembangkan adalah visi yang mengacu pada reformulasi pengembangan rasa beragama bagi masyarakat ( para peserta didik ). Sehingga dibutuhkan reformulasi visi dan misi pendidikan.
Sebagai contoh, kenyataan menunjukkan banyak orang mengaku muslim padahal sama sekali mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan islam, tidak menghiraukan hakekatnya, hanya melihat yang tersurat dari yang tersirat. Hal ini ditegaskan dalam Q.S Ar-rum;7, “mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai”
Suatu pendidikan dan manusia yang tidak menghendaki orientasi hidup kecuali kehidupan dunia, pemikiran seperti itu bukanlah ilmu pengetahuan yang pemilik dari pemikiran itu manjadi tempat kepercayaan orang-orang yang mengaku muslim. “ adakah sama orang-orang yang mengetahui dan tidak mengetahui “, ( Q.S Az-Zumar : 109 ).  Orang-orang yang lalai itulah, sering mengambil nash al-qur’an sekedar untuk mencari legitimitas dukungan terhadap dirinya. Bagaimana mereka dapat dimasukkan kedalam golongan bilangan kaum muslimin, seseorang yang pikirannya kosong dari Allah SWT ( dzikir ). Sebab makna syahadah tidak hanya sekedar percaya, namun tanpa pernah membuktikan keberadaan Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya.
Tuhan mengukur kebodohan seseorang dari hatinya, iman yang mendasar. Pandai karena dalam rasa hatinya mengenali jati diri illahi kemudian dihayati.
Karya iman dalam jiwa seseorang bagaikan karya pengetik atau pengumpul huruf-huruf keyboard. Huruf-huruf itu pada mulanya berserakan, bercerai berai, tidak menunjukkan makna dalam kalimat. Kemudian disusun dengan tujuan tertentu sehingga menjadi karya tulis yang dapat dibaca dengan metode ( cara ) yang sesuai dengan fitrah manusia, melalui seseorang yang tahu persis bagaimana untuk dapat sampai kembali dengan selamat kepada tuhannya, dengan hati yang selamat pula.

Kebodohan adalah seonggok tumpukan yang berserakan kemudian diatur dengan kepatuhan keta’atan dididik diarahkan dan dibina kemudian mengerti tentang makna hidup yang sebenarnya. Tumpukan itu menjadi bentuk yang indah dan memiliki makna. Bakat-bakat itu semula kacau, kemudian diatur rapi, mandul kemudian menjadi berbuah, saling bertentangan kemudian menjadi saling berdekatandan saling tolong menolong, mementingkan diri sendiri lalu kerjasama dalam kebersamaan, buta lalu melihat, gelap lalu terang, khawatir lalu bahagia karena ketentraman dan kebahagiaan tidak bisa dicapai dengan kekayaan, kedudukan yang diusahakan, namun hanya dapat dicapai dengan dzikrullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar