Kemampuan
yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. berdasarkan kemampuan
itulah manusia mengalami perkembangan selama berabad-abad yang lalu dan tetap
terbuka kesempatan luas untuk memperkaya diri dan mencapai taraf kebudayaan
yang lebih tinggi. Misalnya, para ahli teknologi berusaha terus untuk menemukan
sumber-sumber energy yang baru dengan mempergunakan hasil penemuan ilmiah yang
telah digali oleh generasi-generasi terdahulu. Namun, tanpa dibekali kemampuan
belajar, kemajuan dibidang teknologi tidak akan tercapai.
Masing-masing
dari manusia juga mengalami perkembangan di berbagai bidang kehidupan, moral,
etika estetika, sosial masyarakat. Tegasnya bahwa temuan apapun yang diperoleh
dari kajian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat mempengaruhi
perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya.
Supaya
perkembangan anak berlangsung sebagaimana yang diharapkan, anak perlu dididik,
maka perlu sebagi tahap awal, dimengerti apa itu “ pendidikan “. Yaitu bantuan yang diberikan
oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa agar ia mencapai kedewasaan.
Pola pendidikan yang diberikan dalam hal ini adalah pemdampingan, bimbingan
agar anak belajar tentang hal-hal yang positif sehingg dapat menunjang
perkembangannya ( memenuhi tugas perkembangannya ). Maka, cara belajar anak pun
tidak dibiarkan berlangsung dengan sendirinya tanpa adanya pengarahan dan tanpa
tujuan.
Pendidikan
sangat dibutuhkan untuk perkembangan anak pada aspek kognitif ( termasuk
kesadaran, perasaan ), konatif ( perilaku yang secara tersirat mempunyai tujuan
), dan efektif, perkembangan material dan spiritual. Selagi pendidikan berperan
sebagai pusat perubahan konstruktif di dunia saat ini, lembaga-lembaga
pendidikan terkenal tetap saja sulit diperbaharui, lebih mudah memperbarui
sebuah makam ketimbang sebuah sekolahan atau pendidikan. Theodore s. rizer,
pernah berujar, “ sebuah kualitas yang aneh dalam pendidikan adalah bahwa,
sementara kebanyakan orang mengalami secara pribadi, hanya segelintir orang
yang mempelajarinya dengan serius “. Sehingga yang dipentingkan adalah sekedar
sekolah, orang tua tidak tahu paradigma, visi, misi dan tujuan pendidikan bagi
anak-anaknya. Lebih aneh lagi jika yang tidak mengetahui semua itu adalah pendidik
yang secara langsung berinteraksi dengan pendidikan dimana dia bekerja (
diartikan mengabdi )
Nampa
mudah, meski demikian, sekedar untuk mengikuti pola dan praktik tradisional dan
menganggap bahwa kegagalan-kegagalan skeolah adalah hasil yang samar-samar dari
sekelompok orang yang sering disebut oknum pendidikan terdiri dari pendidik
yang berniat melestarikan kemapanan diberbagai jabatan sebagai guru, dosen, dan
administrator. Departemen pendidikan serta badan akreditasi pendidikan yang
semuanya bertekad menonjolkan ideologinya sendiri-sendiri yang didasarkan pada
pengalamannya sendiri, kemudian diterik dengan generalisasi dan disebarkan di
sekolah-sekolah. Yang sebenarnya bukan penggeneralisasian. Silberman mengatakan
bahwa biang kegagalan persekolahan bukannya persekongnkolan jahat atau kolusi,
melainkan kekerasan dan sikap serta tindakan tanpa pikir. Gagalna seluruh
jajaran pendidikan dalam pembentukan generalisasi berpikir mendalam dan secara
serius mengenai tujuan serta konsekuensi pendidikan inilah jantung
persoalannya.
Mengutip
dari Charles E. Silberman, crisis in the classroom, sebagai berikut, “ jika
perilaku tanpa pikir adalah persoalan utama pendidikan kita, maka
penyelesaiannya mestilah dengan cara penyuntikan tujuan, atau lebih penting
lagi adalah dengan memikirkan tentang tujuan serta cara dimana berbagai teknik, isi pengajaran
dan pengorganisasian pendidikan memenuhi ataukah justru melenyapkan tujuan. Itu
semua harus disuntikan ke lembaga itu untuk mengaburkan pemahaman tentang
rutinitas sebagai tujuan dengan tindakan yang bertujuan untuk menjadikan
cara-cara itu sebagai tujuan itu sendiri, maka pencangkokan tujuan itu tadi
jelas tidak akan bisa selesai hanya dnegan sekali tembak.
Nilai sebuah ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan boleh jadi
diasumsikan sebagai tenaga terkuat yang pernah dilihat manusia. Sebegitu
kuatnya sampai-sampai manusia bukan apa-apa dibandingkan dengan potensi yang
dimilikinya. Dimasa mendatang, prediksi akan kebesaran dan kekuatan ilmu
pengetahuan ternyata merupakan usaha sia-sia yang sangat memilukan dan
memalukan. Kekuatan justru bisa jadi sangat membahayakan, khsusunya jika yang
menggunakan adalah mereka yang serakah, irasional dengan penunjang peradaban (
moralitas ) yang tidak memadai sebagai manusia. Hal ini seperti seekor monyet
yang menemukan pistol yang berisiskan peluru.
Segala
macam bentuk usaha manusia selalu didasarkan pada tujuan. Tapi, tujuan dan
jalan menuju tujuan tersebut selalu dipilih berdasarkan nilai dan keyakinan
yang dimiliki. Nilai adalah hal yang sangat penting bagi manusia, karena nilai
adalah suatu hal yang memberikan makna terhadap kehidupan yang dimiliki
manusia, nilai adalah jiwa yang member perasaan kepada manusia –bahwa dialah
seorang manusia, nilai adalah esensi dari perwujudan manusia itu sendiri.
Sehingga dalam segala macam upaya apapun jangan pernah kita kehilangan nilai,
kita jangan pernah kehilangan tujuan manusia, kita jangan pernah kehilangan
kemnusiaan sendiri.
Ilmu pengetahuan dimulai dengan
sangat penuh syarat nilai moralitas ( walaupun tanpa aspek spiritual ), penuh
dengan sarat akan tujuan. Ia adalah perjuanga terhadap kebohongan, perjuangan
terhadap belenggu kebodohan, keacuhan dan ketidaktahuan yang semuanya merupakan
kejahatan terhadap hati nurani manusia itu sendiri. Dan dia harus menjalani
perjuangan berat terhadap ribuan umat manusia, manusia yang ikhlas menerima
kedatangan berdasarkan keyakinan mereka, atau dibelah dan dipilah sebagai ilmu
dunia atau ilmu akherat.
Ilmu
pengetahuan telah keluar dari jalur nilai yang diembannya dalam membentuk
manusia yang kritis, inovatif, obyektif, penyadaran akan jati diri manusia,
sehingga menjadi yang disebut sebagai manusia, pada akhirnya mencari kebenaran
nalar logis ( hati nurani yang berbicara ) untuk dapat mengenali tuhannya. Ilmu
pengeahuan telah kehilangan maknanya bagi umat manusia. Manusia telah merasa
tidak kenal dengan ilmu pengetahuan, jauh dari penalaran yang dikehendaki oleh
perwujudan ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga tidak pernah member manfaat
bagi kemanusiaannya. Bermain-main dengan tanpa tujuan sesungguhnya adalah
sangat berbahaya. Ditambah lagi ilmu pengetahuan ( agama atau umum ) kini
justru pemakaiannya yang banyak adalah sistem-sistem yang rakus, serakah dengan
tujuan melegitimasikankeberadaan mereka, sebuah pengakuan dari pandangan
sebelah mata mereka.
Sistem
politi dan ekonomi yang berhasil menguasai hasil jalan dan arah perkembangan
ilmu pengetahuan ( pendidikan ). Memunculkan kepribadian yang terbelah dan
timbulnya sumberdaya manusia mekanik, suatu hal yang irasional. Demikian pula
ekonomi, merupakan sistem irasional yang bertujuan meningkatkan produksi dan
daya konsumsi di dalam tingkatan yang tak terbatas. Menjadi mereka yang
ilusi-ilusi kebahagiaan hidup yang merupakan kebahagiaan hidup yang merupakan
kebohongan belaka. Dengan kemampuannya menciptakan dunia virtual yang menawan
dan indah serta romantis. Menjejali mereka dengan nilai-nilai yang tidak pada
tempatnya yang bertujuan hanya meningkatkan omzet dan keuntungan meningkatkan
ketidakmasuk akalan, yang sebenarnya bukanlah suatu nilai ( hakiki ), hal itu
adalah kesia-siaan belaka, bahkan sebenarnya rugi.
Dalam
politik dan ekonomi berkolaborasi dengan menggunakan senjata ilmu pengetahuan,
untuk mencapai tujuannya dengan nilai-nilai sempit sistem dari
kepentingan-kepentingan pribadi mereka, menghancurkan tujuan luhur dan nilai
mulia ( nilai hakiki ilahi ) kemanusiaannya. Untuk itu sudah waktunya kita
menempatkan potensi kemanusiaan yang berbudaya ( islam murni dan hakiki ) dalam memahami ilmu
pengetahuan sebagai dan berbarengan dengan nilai-nilai ilahi. Bahkan sudah
saatnya pula untuk memikirkan ulang paradigm politik, ekonomi, sosial, ilmu
pengetahuan dan pendidikan bahkan kebudayaan sendiri.
Padahal
pendidikan yang beragama, memiliki kawasan yang sangat luas yang bermuara pada
implementasi diri setiap peserta didik sesuai dengan ajaran islam yang hakiki.
Dari segala aspek kehidupan, baik aspek ritual, intelektual, sosial maupun
lainnya. Dengan demikian, aspek yang perlu dikembangkan adalah visi yang
mengacu pada reformulasi pengembangan rasa beragama bagi masyarakat ( para
peserta didik ). Sehingga dibutuhkan reformulasi visi dan misi pendidikan.
Sebagai
contoh, kenyataan menunjukkan banyak orang mengaku muslim padahal sama sekali
mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan islam, tidak menghiraukan
hakekatnya, hanya melihat yang tersurat dari yang tersirat. Hal ini ditegaskan
dalam Q.S Ar-rum;7, “mereka hanya
mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang
kehidupan akherat adalah lalai”
Suatu
pendidikan dan manusia yang tidak menghendaki orientasi hidup kecuali kehidupan
dunia, pemikiran seperti itu bukanlah ilmu pengetahuan yang pemilik dari
pemikiran itu manjadi tempat kepercayaan orang-orang yang mengaku muslim. “ adakah sama orang-orang yang mengetahui
dan tidak mengetahui “, ( Q.S Az-Zumar : 109 ). Orang-orang yang lalai
itulah, sering mengambil nash al-qur’an sekedar untuk mencari legitimitas
dukungan terhadap dirinya. Bagaimana mereka dapat dimasukkan kedalam golongan
bilangan kaum muslimin, seseorang yang pikirannya kosong dari Allah SWT (
dzikir ). Sebab makna syahadah tidak hanya sekedar percaya, namun tanpa pernah
membuktikan keberadaan Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya.
Tuhan
mengukur kebodohan seseorang dari hatinya, iman yang mendasar. Pandai karena
dalam rasa hatinya mengenali jati diri illahi kemudian dihayati.
Karya
iman dalam jiwa seseorang bagaikan karya pengetik atau pengumpul huruf-huruf keyboard.
Huruf-huruf itu pada mulanya berserakan, bercerai berai, tidak menunjukkan
makna dalam kalimat. Kemudian disusun dengan tujuan tertentu sehingga menjadi
karya tulis yang dapat dibaca dengan metode ( cara ) yang sesuai dengan fitrah
manusia, melalui seseorang yang tahu persis bagaimana untuk dapat sampai
kembali dengan selamat kepada tuhannya, dengan hati yang selamat pula.
Kebodohan
adalah seonggok tumpukan yang berserakan kemudian diatur dengan kepatuhan
keta’atan dididik diarahkan dan dibina kemudian mengerti tentang makna hidup
yang sebenarnya. Tumpukan itu menjadi bentuk yang indah dan memiliki makna.
Bakat-bakat itu semula kacau, kemudian diatur rapi, mandul kemudian menjadi
berbuah, saling bertentangan kemudian menjadi saling berdekatandan saling
tolong menolong, mementingkan diri sendiri lalu kerjasama dalam kebersamaan,
buta lalu melihat, gelap lalu terang, khawatir lalu bahagia karena ketentraman
dan kebahagiaan tidak bisa dicapai dengan kekayaan, kedudukan yang diusahakan,
namun hanya dapat dicapai dengan dzikrullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar